Baru beberapa hari yang lalu di media sosial viral postingan seorang sarjana pendidikan agama di Barat tentang banyak syubhat.
Tak sedikit agamawan, utamanya yang kontemporer, yang berpendapat bahwa fikih hanya sekumpulan hukum produk manusia dengan merujuk definisinya dalam usul fikih di atas.
Kata “muktasabun” yang menjadi kalimat penjelas bagi kata “ilmun” mengindikasikan bahwa fikih adalah ilmu yang diperoleh oleh seorang fakih dengan sederet proses dan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang mantap.
Sumber gambar: islamramah.co |
Postingan itu awalnya hanya sebagai respon atas sikap beberapa ulama terhadap wasiat seorang transpuan. Namun, respon itu berubah menjadi flexing strata pendidikan dan mengandung banyak syubhat.
Lama sudah orang-orang intelek dengan setengah-ilmu agama menebar syubhat macam isi postingan viral itu. Syubhat terhadap Quran, syubhat atas sunnah, dan syubhat terhadap fikih, secara khusus menyangkut isu transgender.
Syubhat-syubhat seperti ini sudah basi sebenarnya. Bagi pelajar ilmu agama hal-hal demikian bukanlah suatu masalah yang perlu direspon. Tapi bila sudah viral begini bisa membuat awam salah paham terhadap agama. Apalagi yang bicara adalah seorang sarjana. Agar tidak kepanjangan, tulisan ini hanya akan merespon syubhat tentang fikih.
Sebelum itu, ada faedahnya handai taulan tahu bahwa fikih dalam istilah ahli agama memiliki banyak makna.
Sebelum itu, ada faedahnya handai taulan tahu bahwa fikih dalam istilah ahli agama memiliki banyak makna.
Dalam ilmu usul fikih, ada garis tegas antara fikih dan ilmu lain. Ia adalah ilmu tentang hukum syarak yang bersifat amaliah yang didapatkan dari dalil-dalil yang rinci.
Dalam disiplin Fikih, kata fikih juga bermakna sekumpulan hukum-hukum syarak menyangkut seluruh sisi dan laku mukallaf.
Ada juga yang memaknai fikih dengan masalah-masalah yang dibahas dalam kitab fikih, baik ia berupa hukum atau peri kehidupan ideal yang islami.
Dalam terang pemahaman akan makna-makna fikih tersebut juga dengan memperhatikan berbagai bentuk penyesuaian pada hasil ijtihad ulama selama berabad-abad tentu banyak perbedaan pandangan menyangkut fikih. Apakah ia profan; hanya produk zaman yang merefleksikan berbagai budaya yang dilaluinya yang tak ada bedanya dengan hukum-hukum positif yang dibuat manusia dalam berbagai peradaban atau ia sakral; sebuah tuntunan kehidupan dari Tuhan untuk manusia.
Tak sedikit agamawan, utamanya yang kontemporer, yang berpendapat bahwa fikih hanya sekumpulan hukum produk manusia dengan merujuk definisinya dalam usul fikih di atas.
Dalam bahasa Arab, definisi tersebut biasanya begini:
علم بحكم شرعي عملي مكتسب من دليل تفصيلي
Kata “muktasabun” yang menjadi kalimat penjelas bagi kata “ilmun” mengindikasikan bahwa fikih adalah ilmu yang diperoleh oleh seorang fakih dengan sederet proses dan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang mantap.
Usaha tersebut sangat mungkin mendapat pengaruh dari berbagai hal yang ada di sekeliling sang fakih. Baik itu budaya, kondisi ekonomi, politik atau sosial di tempat dan waktu suatu hukum diproses oleh seorang fakih.
Maka tak pelak lagi kalau disimpulkan bahwa fikih dengan makna tersebut hanyalah tulisan dari kesimpulan manusia biasa. Walau disimpulkan dari wahyu yang sakral, ia tak lebih dari sekadar kesimpulan hukum yang profan. Tak perlu dianggap sakral, terbuka ruang untuk rekonstruksi dan pembaharuan dengan skala besar.
Argumen sementara agamawan itu bisa dipahami meski tak mesti disetujui. Para fukaha berijtihad dan menggali hukum memang dalam naungan budayanya. Namun itu tidak berarti bahwa hasil ijtihad mereka bisa diabaikan karena hanya sebatas refleksi budaya dan dituduh yang bukan-bukan, apalagi menuduh ijtihad mereka dipengaruhi dengan hawa nafsu.
Argumen sementara agamawan itu bisa dipahami meski tak mesti disetujui. Para fukaha berijtihad dan menggali hukum memang dalam naungan budayanya. Namun itu tidak berarti bahwa hasil ijtihad mereka bisa diabaikan karena hanya sebatas refleksi budaya dan dituduh yang bukan-bukan, apalagi menuduh ijtihad mereka dipengaruhi dengan hawa nafsu.
Ini tuduhan yang keji. Meruntuhkan bangunan fikih yang dihasilkan para ulama dengan menerapkan kaidah ketat dalam ijtihadnya dengan alasan bahwa ia hanya refleksi budaya, sekadar buah pikir orang-orang terdahulu adalah tindakan lalim yang tidak dapat diterima akal orang yang mengerti agama.
Memang fikih bukan dan tidak bisa dikatakan tulisan Tuhan atau perkataan Tuhan, tapi ia adalah hukum Tuhan.
Lho, kok bisa buah pikir manusia dikatakan hukum Tuhan? Hukum yang bersumber dari nash Quran dan hadis, okelah, tapi hukum yang bersandar kepada ijma’ dan qiyas?
Jadi begini, dalam definisi fikih yang pertama, ada keterangan jelas bahwa sumbernya adalah dalil syarak. Secara singkat, semua dalil-dalil yang menjadi sandaran hukum fikih baik yang disepakati dan yang diperdebatkan kembali kepada dua wahyu yang sakral. Ijma’ meski ia adalah kesepakatan para fukaha, namun memiliki sandaran dari kitab atau sunnah.
Jadi begini, dalam definisi fikih yang pertama, ada keterangan jelas bahwa sumbernya adalah dalil syarak. Secara singkat, semua dalil-dalil yang menjadi sandaran hukum fikih baik yang disepakati dan yang diperdebatkan kembali kepada dua wahyu yang sakral. Ijma’ meski ia adalah kesepakatan para fukaha, namun memiliki sandaran dari kitab atau sunnah.
Ijtihad ulama dalam bentuk qiyas juga begitu. Ilat yang menjadi penghubung antara furu’ – masalah yang belum diketahui hukum dan ashl masalah yang sudah jelas hukumnya hanya berfungsi sebagai penanda hukum. Bahwa ada kesamaan hukum antara dua masalah yang memiliki ilat yang sama.
Memang benar ada usaha manusia dalam proses mengetahui hukum syarak, tapi usaha tersebut tak lebih dari menampakkan.
Tugas mujtahid, apakah itu ijtihad individual atau kolektif, hanya menyingkap hukum yang belum diketahui, bukan membuat hukum. Makanya istilah untuk proses itu disebut istinbath dari akar kata نبط yang berarti tampak setelah tersembunyi. Jadi, istinbath ialah mengeluarkan hukum dari tempatnya yang tersembunyi. Tersembunyi bisa jadi karena dalalah lafaz yang tidak terlalu jelas, bisa jadi karena ilat yang tak “kasat mata”, atau kesamaran dalam tahqiq manath-nya. Oleh karena itu, ijtihad para fukaha disebut hukum
Tuhan, meski bukan dan tidak disebut perkataan Tuhan. Saat mengetahui ini, Anda tentu dapat mengerti kenapa Ibnu al-Qayyim menyamakan para fukaha dengan para menteri seorang raja. Ya, tentu saja karena tugas mereka hanya menyampaikan atas nama raja. Dalam hal ini para fukaha menyampaikan hukum atas nama Tuhan.
Akhir kalam, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum Tuhan. Sebagiannya dipahami langsung dari firman Tuhan atau sabda utusan-Nya, sebagian lagi ditampakkan oleh para fukaha dengan cara istinbath, yaitu proses berat dalam penggalian hukum yang diwariskan turun temurun dari utusan-Nya.
Tugas mujtahid, apakah itu ijtihad individual atau kolektif, hanya menyingkap hukum yang belum diketahui, bukan membuat hukum. Makanya istilah untuk proses itu disebut istinbath dari akar kata نبط yang berarti tampak setelah tersembunyi. Jadi, istinbath ialah mengeluarkan hukum dari tempatnya yang tersembunyi. Tersembunyi bisa jadi karena dalalah lafaz yang tidak terlalu jelas, bisa jadi karena ilat yang tak “kasat mata”, atau kesamaran dalam tahqiq manath-nya. Oleh karena itu, ijtihad para fukaha disebut hukum
Tuhan, meski bukan dan tidak disebut perkataan Tuhan. Saat mengetahui ini, Anda tentu dapat mengerti kenapa Ibnu al-Qayyim menyamakan para fukaha dengan para menteri seorang raja. Ya, tentu saja karena tugas mereka hanya menyampaikan atas nama raja. Dalam hal ini para fukaha menyampaikan hukum atas nama Tuhan.
Akhir kalam, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum Tuhan. Sebagiannya dipahami langsung dari firman Tuhan atau sabda utusan-Nya, sebagian lagi ditampakkan oleh para fukaha dengan cara istinbath, yaitu proses berat dalam penggalian hukum yang diwariskan turun temurun dari utusan-Nya.
Fikih bukanlah ekspresi hawa nafsu para ulama atau produk budaya yang tak jelas pakemnya. Berkesimpulan seperti itu hanya jadi penanda bahwa Anda tidak memiliki ilmu atau malah lebih bahaya, hanya memiliki setengah ilmu.
Penulis: Syakier Anwar