Inti dari ijtihad itu Qiyas, inti dari Qiyas itu Illah. Illah dibagi dua, dalam Furu' dan dalam Ushul. Mencari Illah dalam Ushul sudah banyak dilakukan oleh para Mujtahid terdahulu. Saya pribadi melihat hampir gak ada lagi yang perlu diijtihadin untuk Illah dalam ushul masalah.
Adapun untuk mencari Illah dalam Furu' itu dinamakan dengan Tahqiq Manath. Di sinilah kita sering keteteran, untuk memastikan bahwa Illah yang dibicarakan oleh Fuqaha itu beneran ada dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Jangan-jangan kita berbicara tentang sesuatu hukum yang sama sekali berbeda dengan yang dibicarakan para Mujtahid. Rumus atau teori yang dijelaskan ulama sudah benar tapi kita yang menerapkan bukan pada tempatnya.
Contohnya Mujtahid ketika melihat apa yang dilakukan Nabi dalam membentuk negara Madinah, mereka mengstinbath bahwa dibutuhkan sebuah organisasi yang menjaga permasalahan dunia dan agama manusia, maka didirikanlah sebuah negara. Dengan mengqiyaskan apa yang terjadi di negara Madinah, maka sepeninggal Nabi, Sahabat sepakat berijtihad dengan Qiyas untuk melanjutkan apa yang dilakukan Nabi dengan membentuk sebuah organisasi yang ditujukan untuk mengatur, mengurus dan menjaga hak manusia baik dunianya atau akhiratnya yang dinamakan Nizam Khilafah.
![]() |
Sumber gambar: pkuunida12.blogspot.com |
Hal yang mungkin bisa dilakukan sekarang cuma memastikan "Illah tersebut beneran ada dan wajh istidlalnya apa?." Ulama memakai beberapa metode dalam menemukan Illah dalam Ushul dan Furu', mulai dari Nash, Ijma', Dauran, Munasabah, Syabah dan Tard. Saat ulama mengatakan pintu ijtihad ditutup, hampir semua hal yang mereka maksud adalah dalam kasus ini (Ushul).
Adapun untuk mencari Illah dalam Furu' itu dinamakan dengan Tahqiq Manath. Di sinilah kita sering keteteran, untuk memastikan bahwa Illah yang dibicarakan oleh Fuqaha itu beneran ada dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Jangan-jangan kita berbicara tentang sesuatu hukum yang sama sekali berbeda dengan yang dibicarakan para Mujtahid. Rumus atau teori yang dijelaskan ulama sudah benar tapi kita yang menerapkan bukan pada tempatnya.
Contohnya Mujtahid ketika melihat apa yang dilakukan Nabi dalam membentuk negara Madinah, mereka mengstinbath bahwa dibutuhkan sebuah organisasi yang menjaga permasalahan dunia dan agama manusia, maka didirikanlah sebuah negara. Dengan mengqiyaskan apa yang terjadi di negara Madinah, maka sepeninggal Nabi, Sahabat sepakat berijtihad dengan Qiyas untuk melanjutkan apa yang dilakukan Nabi dengan membentuk sebuah organisasi yang ditujukan untuk mengatur, mengurus dan menjaga hak manusia baik dunianya atau akhiratnya yang dinamakan Nizam Khilafah.
Atas dasar kemaslahatan itulah ulama dalam setiap buku Fiqh memberi hukum bahwa mendirikan Khilafah hukumnya wajib, sebagian mengatakan wajib kifayah dengan Illah untuk menjaga dan mengatur hak manusia dalam urusan dunia dan akhiratnya. Begitulah yang tertulis dalam kitab Fiqh dari masa ke masa. Gak ada yang berbeda di sini.
Mencari Illah dalam Ushul dan memastikan bahwa negara Madinah itu didirikan dengan illah "mengatur pekara manusia baik dunia dan akhiratnya" melalui Masalik Illah yang kita sebutkan di atas. Adapun menerapakan Illah tersebut dalam organisasi lain bernama Khilafah - yang berbeda dengan negara Madinah - dengan Illah yang sama dinamakan Qiyas.
Mencari Illah dalam Ushul dan memastikan bahwa negara Madinah itu didirikan dengan illah "mengatur pekara manusia baik dunia dan akhiratnya" melalui Masalik Illah yang kita sebutkan di atas. Adapun menerapakan Illah tersebut dalam organisasi lain bernama Khilafah - yang berbeda dengan negara Madinah - dengan Illah yang sama dinamakan Qiyas.
Memastikan Illah yang dipakai dalam negara Madinah atau Daulah Nubuwah sama dengan Nizam Khilafah dinamakan Tahqiq Manath. Berdasarkan ijtihad tersebut ulama saat itu sepakat bahwa mendirikan Khilafah wajib dengan melihat Illah tersebut.
Sampai di sini tidak ada masalah apapun hingga akhirnya Khilafah runtuh. Keadaan berubah, lalu ulama melihat apakah hukum kewajiban mendirikan Khilafah yang dijelaskan ribuan tahun dalam kitab Fiqh, apakah masih sama hukumnya atau keadaannya berubah. Tujuan sebenarnya mendirikan Nizam Khilafah yang merupakan Furu dari hukum Ushul tadi atau tujuannya menjaga dan mengatur hak tadi dengan cara apapun baik dengan Khilafah atau organisasi lain?
Sampai di sini tidak ada masalah apapun hingga akhirnya Khilafah runtuh. Keadaan berubah, lalu ulama melihat apakah hukum kewajiban mendirikan Khilafah yang dijelaskan ribuan tahun dalam kitab Fiqh, apakah masih sama hukumnya atau keadaannya berubah. Tujuan sebenarnya mendirikan Nizam Khilafah yang merupakan Furu dari hukum Ushul tadi atau tujuannya menjaga dan mengatur hak tadi dengan cara apapun baik dengan Khilafah atau organisasi lain?
Bisakah negara yang ada seperti sekarang dan berbentuk berbeda dengan Nizam Khilafah menerapkan Illah yang kita bicarakan atau hanya Nizam Khilafah saja bisa yang melakukannya?
Untuk menemukan jawaban ini gak mudah, mempraktekkan Illah Ushul (pengaturan hak tadi pada negara Madinah) pada Furu (Nizam Khilafah), lalu melihat apakah hukum Furu sesuai dengan keadaan di lapangan atau jangan-jangan Furu yang sudah ada ketetapan dan disepakati hukumnya itu (kewajiban Khilafah) beda dengan fakta di lapangan (bentuk negara saat ini), sehingga fatwa tentang Furu itu gak bisa difatwakan sekarang? Atau mungkin hukum Furu tersebut (kewajiban mendirikan Nizam Khilafah) sesuai dengan di lapangan? Ijtihad untuk menemukan jawaban ini dinamakan dengan Tahqiq Manath Khas.
Tahqiq Manath Khas ini adalah hal yang paling sulit dalam praktek Qiyas, bahkan ulama sekalipun kewalahan dalam menemukan jawaban yang benar dalam mentahqiq Manath Khas, selain harus mempunyai kemampuan ijtihad secara zahir atau Faqih An Nafs, juga dibutuhkan Ainul Bashirah (melihat dengan mata hati), ditambah harus tau keadaan lapangan dan paham benar ke arah mana fatwa ini berakhir, kadang juga dibutuhkan bantuan orang lapangan non-ulama untuk membantu mencari fakta di lapangan.
Tahqiq Manath Khas ini adalah hal yang paling sulit dalam praktek Qiyas, bahkan ulama sekalipun kewalahan dalam menemukan jawaban yang benar dalam mentahqiq Manath Khas, selain harus mempunyai kemampuan ijtihad secara zahir atau Faqih An Nafs, juga dibutuhkan Ainul Bashirah (melihat dengan mata hati), ditambah harus tau keadaan lapangan dan paham benar ke arah mana fatwa ini berakhir, kadang juga dibutuhkan bantuan orang lapangan non-ulama untuk membantu mencari fakta di lapangan.
Makanya kemampuan Tahqiq Manath Khas kata Imam Syatiby merupakan hal yang paling langka di dunia. Orang yang mempunyai kemampuan ini, jarang kita dapati pendapatnya bertentangan satu-sama lain apalagi berakhir dengan kekacauan.
Merekalah yang bisa memahami kenapa Nabi kadang memerintahkan perang Badar di waktu lain, tapi saat mereka kuat malah memilih berdamai melalui perjanjian Hudaibiyah. Kenapa Nabi memarahi dan melarang sebagian Sahabat yang menyedekahkan semua hartanya, sedangkan di lain waktu beliau memuji Abu Bakar yang menyedekahkan semua hartanya, dll.
Merekalah yang bisa memahami kenapa Nabi kadang memerintahkan perang Badar di waktu lain, tapi saat mereka kuat malah memilih berdamai melalui perjanjian Hudaibiyah. Kenapa Nabi memarahi dan melarang sebagian Sahabat yang menyedekahkan semua hartanya, sedangkan di lain waktu beliau memuji Abu Bakar yang menyedekahkan semua hartanya, dll.
Seorang yang memahami Tahqiq Manath khas inilah yang mampu mempraktekkan hukum Allah pada tempat semestinya. Merekalah seorang yang diberikan hikmah oleh Tuhan, sehingga mampu melakuan sesuatu yang tepat, dengan orang yang tepat dan diwaktu yang tepat.
Adapun ketidakpahaman seorang pada masalah ini seringkali membuat hukum islam itu mengerikan karena penerapan yang sembarangan, bukannya jadi solusi malah jadi masalah. Masalah Isis, Al-Qaeda, Sekulerisme adalah salah satu dari penerapan hukum Ushul dan Furu tanpa memahami Tahqiq Manath khas.