Mengawasi Peran Awam

Jika merujuk dalam KBBI, kamus-kamus istimewa dalam bahasa arab, hingga penggunaan istilah khusus ‘awam’ Anda akan menemukan makna yang sama belaka; itulah umum; kebanyakan; biasa; tidak istimewa, atau orang kebanyakan; orang biasa (bukan ahli). Maka mendeteksi dan memahami definisi ‘awam’ tidaklah serunyam definisi cinta, setidaknya bagi saya.
Mengawasi Peran Awam
Sumber gambar: bincangsyariah.com
‘awam’ dikontraskan dengan ‘khusus’. Khusus artinya orang istimewa. Dalam soal agama, ada orang khusus dan awam. Begitu jamak dimaklumi. Tidak hanya dalam perkara agama, bahkan soal bertani pun ada kategori khusus dan awam. Maka nisbah awam dan khusus pada seseorang tergantung pada keahliannya. Seseorang bisa awam pada satu bagian, istimewa pada bagian lain. Ulama istimewa dalam perkara agama, awam dalam perkara tempel ban.

Setiap dua jenis itu, awam dan khusus, punya peran masing-masing. Dalam beragama, orang khusus perannya ialah membumikan pesan-pesan ilahi kepada jenis awam. Sedangkan awam hanyalah bertanya. Tidak lebih. Disebutkan ‘bertanya’, maka tidak termasuk ‘melawan’, ‘memveto’, ‘mendebat’, atau bahkan ‘membantah’. Disebutkan ‘bertanya’, lagi, adalah pada perkara yang tidak diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya. Maka, tahu dan paham yang tidak semestinya tidak melantaskan merasa tahu hingga tak perlu bertanya dan membantah. Apalagi hingga bantahan itu dibawa-bawa atas nama “kan, diskusi”.

Media boleh canggih, tapi tidak lantas membuat kita istimewa hanya berbekal langganan akun dakwah dan ustadz-ustadz beken. Selama tidak menempuh alur tahu dan paham yang semestinya, kita senantiasa menjadi awam. Dan tugas kita hanya satu; bertanya untuk kemudian mengamalkannya seadanya. Tidak lebih.

Kalau tidak paham hukum kasus tertentu, cukup tanya status hukum itu. Jangan memaksa lebih. Bisa-bisa Anda dan orang lain terjerembap dalam dalil itu. Macam orang tak tahu apa itu sawah dan bagaimana seharusnya sawah dikelola, lantas memaksa ingin ke sawah. Tahulah apa yang terjadi selanjutnya.

Jika peran kita hanya bertanya, maka tolong, tolong jangan pernah menyerobot peran orang istimewa itu. Begitu kita mengambil peran orang istimewa, kontan kita telah merusak agama dengan cara paling goblok. Berdiskusi, berpikir kritis, menalar kreatif itu adalah sederet peran orang istimewa. Kita orang awam, jangan, nanti bisa babak belur. Bertanya untuk kemudian mengamalkan adalah cara terbaik menjadi awam yang baik budi. Hanya itulah cara paling selamat dalam beragama dan dalam lini kehidupan lainnya.

Kita orang awam yang berani menyerobot peran orang istimewa dapat pesan khusus, lho, dari Imam Ghazali. Begini kata beliau, “orang awam itu Anda saja—andai, ya, bukan berarti benaran dilakukan—melakukan dosa yang terlibat dirinya sendiri itu lebih selamat ketimbang merampas peran orang istimewa”. Pesan itu, tanpa perlu menalarnya dalam-dalam, jelas mengutarakan bahwa kita orang awam hanya perlu mengurus, mengawasi, dan menjaga peran kita. Jika tidak, kita bisa berabe, merepotkan diri kita sendiri di dunia dan akhirat, merepotkan orang istimewa, dan merepotkan alam sekitar.
 
Sampai di sini, tugas bertanya, lalu mengamalkannya nampak mudah nian, bukan? Memang, mudah, kok. Andaikan saja begini, Anda hanya perlu menyuap dan membuka mulut untuk mengunyah nasi demi kekenyangan yang Anda tuju. Lantas, kalau Anda hanya perlu kenyang dan Anda tidak mampu mengelola sawah dan padi, untuk apa Anda memaksa diri melakukan hal itu? Bukankah itu hanya akan menyusahkan dan membinasakan diri Anda sendiri?
 
Mari biarkan orang istimewa itu saja yang merasakan susah dan payah mengelola sawah, menggiling padi, dan menanaknya. Kita hanya perlu membuka tudung saji, lalu melahap nasi dengan bahagia. Nah, kurang istimewa apa lagi kita orang awam, kan?

Penulis : Zuhdi Anwar

Artikel diambil dari Serambi Salaf