Kewajiban Orang Alim Terhadap Orang Awam

Suatu hari, Sayyidina Ali ‘alaihissalam keluar ke serambi kota Kufah. Kemudian ia meminum air sambil berdiri dan berkata, “orang-orang pada merasa aneh kalau ada yang minum air sambil berdiri. Sungguh dulu saya melihat Rasulullah Saw, melakukan seperti yang barusan saya lakukan.” Hadis ini diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad dan Sahih Bukhari.
Kewajiban Orang Alim Terhadap Orang Awam
Sumber gambar: hidayatullah.com
Terdapat beberapa faedah dalam hadis Ali disebut di atas. Antaranya adalah wajib atas orang alim untuk memberi penjelasan bagi orang awam bila ia mengetahui bahwa mereka telah menjauhi suatu perkara yang hukumnya padahal boleh-boleh saja, agar awam tidak menganggap perkara mubah yang sudah tidak dilakukan, statusnya berubah jadi haram.

Hukum wajib ini bahkan bersifat segera meskipun tidak ada yang menanyakannya. Begitu kira-kira kesimpulan Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan komentar atas hadis Ali tersebut. 

Minum air sambil duduk adalah sunnah adanya dan dalam fikih syafii, minum air sambil berdiri hukumnya makruh meski sebagian syafi’iyah menganggapnya hanya makruh secara kedokteran saja.

Di kesempatan lain, empat belas abad kemudian, seorang khatib membacakan khutbah jumat dengan wasiat dan doa yang sangat singkat. Pada bagian doa untuk muslimin, khatib bahkan hanya membaca “rahimakumullah” saja. 

Sontak doa yang sangat singkat itu membuat para jamaah yang terbiasa dengan doa panjang-lebar “allahumma ighfir lil muslimiin …” protes dan meminta khatib untuk membaca ulang khutbahnya sebagaimana biasanya, sesuai dengan mazhab syafii berdasar pemahaman para jamaah. 

Terang benderang, pada kejadian khatib muda ini, hasilnya cukup berbeda dengan kasus dalam hadis di atas. Alih-alih menerangkan hal yang kadung dianggap keliru dalam masyarakat, sang khatib malah memicu protes dan keributan. 

Maksud hati mau meluruskan pemahaman, khatib kita itu malah disalahpahami. 

Memang betul niat mengajarkan hal yang benar sembari memberi contoh, namun dalam keadaan tertentu hal benar yang dilakukan dengan cara tidak tepat malah jadi salah dan membuat kebenaran tidak tersampaikan sebagaimana diinginkan.

Handai tolan, dua contoh ringan di atas, bentuk-bentuk pelurusan amaliah lainnya, dan laku menghidupkan sunnah adalah terpuji. 

Ada banyak sekali dalil berkata begitu. Hal ini semua masuk dalam ranah amar makruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, fikih dakwah dan prinsip-prinsip amar makruf dan nahi mungkar juga berlaku dalam penerapannya. 

Kedua contoh amar ma’ruf di atas disebut ringan karena masih pada tahap pertama. Masih ada tahap-tahap lanjutan bergantung dengan hal yang akan diluruskan.

Banyak buku yang menjelaskan prinsip-prinsip fikih dakwah dan amar ma’ruf-nahi mungkar, namun yang dijelaskan Imam Ghazali dalam Ihya’-nya, terutama perkara amar ma’ruf dan nahi mungkar, sudah lebih dari cukup buat orang yang mau terjun ke medan ini. 

Secara ringkas, Sang Hujjah menyebutkan banyak syarat untuk urusan yang beliau namai hisbah itu.

Ada syarat buat muhtasib alias orang yang melakukan amar ma’ruf-nahi mungkar, muhtasab alaih akan objek amar dan nahi, muhtasab ‘alaih, dan syarat-syarat hisbah itu sendiri. 

Semua syarat itu berakhir pada satu prinsip bahwa amar makruf dan nahi mungkar dalam berbagai bentuk dan tahapannya tidak boleh mengadung dan mengundang kemungkaran lain. Terjamin dari akibat buruk atau lebih buruk adalah syarat mutlak pada segenap rukun hisbah.

Mengabaikan syarat yang disebutkan secara detail dalam Ihya’ itu bisa bikin maksud dari amar makruf dan nahi mungkar gagal dicapai. 

Handai tolan sekalian pasti sudah familiar dengan kericuhan di tempat-tempat ibadah atau pengajian yang kena demo. 

Barang tentu sudah mual melihat dai-dai karbitan yang tidak mencukupi syarat untuk menerangkan kebenaran apalagi untuk amar ma’ruf. 

Perkara ini berat, bak mendirikan dinding yang mau roboh merujuk Imam Ghazali. Tak bisa dilakukan sendiri dan secara serampangan. Dibutuhkan hati yang lapang dan ilmu yang lumayan luas.

Jangan sampai, tak ada angin tak ada hujan, sebagai dai anda malah bikin keributan dengan dalih hendak meluruskan pemahaman. 

Mau menghidupkan sunnah, silakeun. Hendak meluruskan pemahaman, tak masalah. Asal semua itu dilakukan dengan tutunan syarak yang sudah dijelaskan oleh para ulama. 

Kan, ngga lucu, tak tengok kanan kiri, ujug-ujug udah main ini salah, itu salah. Tak sempat menengok diri di cermin, keluar rumah nuduh orang tak bisa menerima perbedaan dalam keadaan diri sendiri tak sanggup melihat perbedaan. 

Salam

Penulis: Syakier Anwar dengan judul  "If Ain't Broken, Don't Fix it"